Rabu, 06 April 2016

Bergesernya Tradisi di Bali Akibat Penjajahan

Tradisi/budaya Bali sebenarnya tidak lepas dari ajaran Weda, hanya saja dengan begitu banyaknya campur tangan akhirnya tradisi yang sudah sesuai dan lengkap akhirnya berubah sesuai dengan keinginan manusia. Salah satu contoh tradisi yang bergeser adalah catur warna yang menjadi kasta. Padahal dalam kitab suci Hindu sudah jelas dituliskan bahwa catur warna adalah pembagian manusia berdasarkan kualitas dan keahliannya. Dan hal ini juga sudah dipertegas oleh sloka Bhagawad Gita IV-13 : "Catur Varna (Warna) adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja; tapi ketahuilah walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku".

Pembagian catur warna sendiri adalah

  1. Brahmana : golongan yang mempunyai keahlian di bidang pelaksanaan keagamaan. Golongan ini cocok ditempatkan sebagai pendeta atau sulinggih, pemangku, guru kerohanian.
  2. Ksatria : golongan yang ahli di bidang ke ketatanegaraan, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur jalannya suatu negara dan pembela negara, misalnya prajurit/tentara, menteri, pemerintah.
  3. Weisya : golongan yang ahli di bidang ekonomi, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur perekonomian, misalnya pengusaha, pedagang, petani.
  4. Sudra : golongan yang mendedikasikan diri untuk memberikan pelayanan terhadap suatu pekerjaan. Sehingga golongan ini cocok ditempatkan sebagai buruh atau karyawan.
Dilihat dari pembagian beserta dengan maksud yang ada dalam catur warna, sudah jelas sekali ada perbedaan antara catur warna dan kasta. Catur warna lebih mementingkan ke profesi sedangkan kasta lebih cenderung ke wangsa/keturunan.

Bagaimana kasta bisa terbentuk ?
Pada awal kehidupan di Bali bahkan sampai masuknya Majapahit di bali tidak mengenal adanya kasta. Ini terbukti dengan nama-nama orang Bali termasuk petingginya yang tidak menggunakan kata sandang apapun, misalnya Ida Bagus, Gusti Ngurah, I Dewa, dll. Yang menjadi raja ataupun petingginya tidak harus dari keluarga bangsawan atau wangsa tertentu. Seperti contoh di Jawa, Kerajaan Singosari yang dibangun oleh seorang pemuda biasa yang bernama Ken Arok, Kerajaan Majapahit dibangun oleh menantu bekas raja Singosari yaitu Raden Wijaya dan akhirnya juga mendapat seorang patih dari rakyat biasa yang bernama Gajah Mada. Di Bali sendiri semenjak masih dalam masa Kerajaan Bedahulu, rajanya masih menggunakan nama aslinya, misalnya Kesari Warmadewa menjadi Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena menjadi Sri Ugrasena, Udayana menjadi Sri Udayana. Jadi hanya ditambahkan kata "Sri" sebagai abiseka bahwa beliau adalah seorang raja. Patih-patihnya pun bernama Ki Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis, dll yang hanya dari rakyat biasa. Jadi sudah jelas sekali bahwa jaman dulu Bali tidak mengenal kasta. Tetapi yang dipentingkan adalah keahlian.

Kemudian setelah kedatangan penjajah Belanda dengan politik adu dombanya, direncanakanlah pengkotak-kotakan masyarakat Bali ke dalam sistem kasta. Sistem kasta ini ditiru dari penerapan sistem kasta yang sudah berhasil diterapkan oleh sekutunya yaitu Inggris di India. Maka Belanda juga ingin melakukan hal yang sama terhadap rakyat Bali dan sayangnya berhasil. Akhirnya semenjak itulah Warna (catur warna) disalah artikan menjadi kasta dan mulailah pemakaian kata sandang untuk kaum bangsawan sampai ke keturunannya.

Disamping itu pengkotak-kotakan masyarakat Bali dilakukan juga dalam hal pembagian waris. Pada awal Bali, anak perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam hal warisan. Perbedaannya hanya jumlahnya yaitu "a suun" (mengangkat dengan kepala) untuk anak perempuan dan "a tegen" (mengangkat dengan bahu) untuk anak laki-laki. Artinya anak perempuan mendapat setengah dari anak laki-laki. Kecuali untuk warisan yang bersifat pusaka keluarga memang harus diserahkan kepada anak laki-laki. Penjajah juga akhirnya menghapus hak-hak anak perempuan dalam hal warisan dan sebagainya.

Begitulah tragisnya perubahan tradisi dalam tatanan masyarakat Bali yang sudah maju dan akhirnya hancur sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Untungnya sekarang kehancuran tradisi ini sudah mulai luntur, perbedaan kasta sudah mulai pudar dan persamaan hak antara anak perempuan dan laki-laki sudah mulai diakui. Memang belum semua orang melakukannya, tetapi semoga untuk kedepannya masyarakat Bali bisa kembali lagi ke ajaran Weda yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar