Rabu, 13 April 2016

Kebenaran Hindu

Apakah Hindu adalah agama yang paling benar? Tak satupun dalam Weda ditemukan sloka-sloka yang menunjukkan bahwa Hindu adalah agama yang paling benar. Bahkan kata Hindu tidak satupun ada dalam Weda. Bagaimana sebenarnya Hindu itu lahir dan kapan, belum juga ada yang tahu. Hanya menurut sejarah, ajaran Hindu pertama kali dibawa oleh bangsa Arya ke India pada tahun 1400SM dan itupun bukan bernama Hindu tetapi Sanatana Dharma (kebenaran yang abadi). Kata Hindu didapat dari bangsa Persia yang melihat orang India di seberang sungai Sindhu sehingga disebutlah kata Hindu.

Dalam sejarah, Hindu merupakan agama tertua di dunia. Tetapi ada juga agama lain yang mengklaim bahwa bukan Hindu yang pertama tetapi agamanya karena menyangkut kelahiran manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Sedangkan dalam Hindu sendiri juga disebutkan ada manusia pertama yang disebut Manu yang merupakan beberapa golongan manusia yang terlahir pertama kali saat alam semesta selesai tercipta.

Kalau disimak dari siklus alam semesta, hanya dalam Hindu yang paling lengkap mengenai penciptaan, proses dalam siklus beserta dengan jamannya, serta peleburan alam semesta dalam bentuk maha pralaya. Dalam Hindu, disebutkan ada 4 macam jaman yang disebut Catur Yuga yang diantaranya :

  1. Satya Yuga; merupakan jaman keemasan yang mempunyai masa 1.728.000 tahun, dimulai dari awal penciptaan alam semesta ataupun setelah hari pralaya (masa berakhirnya Kaliyuga sebelumnya). Pada jaman ini karakter manusianya memiliki kesadaran akan dharma, budi luhur, mempunyai moral yang baik, dan kebenaran sangat dijunjung setinggi-tingginya. Tidak satupun ada kejahatan yang dilakukan. Berakhirnya jaman ini akan membawa ke jaman yang baru yaitu Treta Yuga. 
  2. Treta Yuga; merupakan jaman kerohanian mempunyai masa 1.296.000 tahun. Pada jaman ini sifat kerohanian sudah muncul, agama menjadi dasar, orang yang pandai dan memiliki wawasan luas, serta ahli filsafat akan sangat dihormati. Hanya saja kejahatan sudah mulai muncul walaupun sangat sedikit sekali. Berakhirnya Treta Yuga kemudian dilanjutkan dengan Dwapara Yuga.
  3. Dwapara Yuga, merupakan jaman ritual mempunyai masa 864.000 tahun. Pada jaman ini kejahatan dan orang-orang berdosa sudah mulai bermunculan. Kelicikan dan kebohongan sudah mulai terlihat. Orang yang banyak melakukan ritual adalah orang paling dihormati. Jaman ini diidentikkan terjadi pada saat cerita Maha Bharata terjadi sampai sepeninggal Sri Krishna. Berakhirnya Dwapara Yuga maka dimulailah Kaliyuga,
  4. Kaliyuga; merupakan jaman kegelapan mempunyai masa 432.000 tahun. Pada jaman ini kejahatan sudah merajalela, kebohongan, fitnah, tindah kekerasan ada dimana-mana, murid sudah berani melawan gurunya, dharma sudah tidak dianggap lagi. Berakhirnya jaman ini mengakibatkan terjadinya pralaya (kiamat kecil) yang membuat jaman kembali lagi ke Satya Yuga atau bahkan mahapralaya (kiamat besar) yang mengakibatkan kehancuran alam semesta.
Siklus jaman ini terjadi bukan hanya sekali tetapi berkali-kali seperti siklus dalam musim. Satu kali siklus Catur Yuga ini disebut sebagai Mahayuga, sedangkan Mahayuga terjadi sebanyak 71 kali yang disebut satu Manwantara. Setiap Manwantara dipimpin oleh manu yang baru. Setelah terjadi 14 kali Manwantara disebut sebagai satu Kalpa. Satu Kalpa adalah satu hari Brahman atau 1 hari untuk Tuhan. Maka setelah 1 kalpa ini berlangsung maka alam semesta akan dihancurkan (mahapralaya) dan akan dibuat alam semesta yang baru.

Berdasar pada cerita awatara yang terkenal sebagai Dasa Awatara dimana awatara yang pertama adalah Matsya Awatara yang berwujud ikan besar demi menyelamatkan manu dari air bah. Kejadian inilah sebenarnya awal dari Satya Yuga. Kenapa hanya menyelamatkan manu? Seperti kita ketahui setiap Manwantara dipimpin oleh manu yang baru, maka manusia-manusia yang hidup pada jaman sebelumnya (pada masa kaliyuga sebelumnya) yang sudah memiliki akhlak yang buruk akan dibinasakan. Tetapi dalam hal ini sebenarnya tidak semuanya akan dibinasakan. Hanya yang memiliki akhlak buruk saja, tetapi yang masih menjunjung Dharma akan tetap diselamatkan.

Berdasarkan siklus jaman yang ada, Hindu sudah mengetahui akan adanya siklus tersebut. Hal ini berarti ajaran Sanatana Dharma ini memang sudah ada di awal penciptaan, mengingat karena perubahan Mahayuga sebagai akibat dari pralaya, maka asal usul ajaran ini menjadi kabur. Sehingga tidak bisa dipastikan kapan ajaran Weda ini sebenarnya lahir. Ini juga berarti walaupun dengan adanya perubahan siklus jaman ini, Sanatana Dharma masih bisa tetap hidup walaupun mencapai kemunduran sampai akhirnya mencapai kembali masa gemilangnya.

Kalau dikilas lebih lanjut, ajaran-ajaran lain selain Hindu baru lahir setelah masa Kaliyuga, sedangkan kita tahu bagaimana kondisi jaman Kali tersebut. Bukan bermaksud merendahkan ajaran-ajaran lain yang lahir di jaman Kali tersebut, ini tergantung kebijaksanaan kita dalam menelaah ajaran tersebut.  

Selasa, 12 April 2016

Unsur - Unsur Badan Dalam Hindu

Dalam agama Hindu dikenal ada 3 jenis badan yaitu Stula Sarira, Suksma Sarira dan Antakarana Sarira yang disebut sebagai Tri Sarira. Ketiga jenis tubuh inilah yang menjadi kesatuan sehingga manusia bisa hidup dengan selayaknya manusia normal. Apabila salah satu tubuh ini terlepas maka sudah pasti akan terjadi ketidak seimbangan ataupun kematian. Penjabaran dari masing-masing badan tersebut adalah :

  1. Stula Sarira atau badan kasar, merupakan badan yang bisa dilihat, diraba, dirasakan, mempunyai bentuk tetapi tidak memiliki kehidupan.
  2. Suksma Sarira atau badan halus, merupakan badan yang memiliki bentuk, akan tetapi tidak bisa dilihat ataupun diraba dan merupakan letak dari akal dan pikiran manusia. Badan ini diidentikkan dengan roh manusia. Orang yang meninggal akan meninggalkan badan kasarnya dan menjadi roh dan menempati alam Pitara sampai waktunya dia kembali lagi ke dunia. Kenapa menjadi roh, bukan menjadi atman? Buktinya adalah terkadang ada orang yang memiliki kemampuan lebih/indra ke-enam yang mampu membuat orang itu melihat roh orang yang sudah meninggal dimana mempunyai bentuk dan wajah sama seperti saat keadaan masih hidup. 
  3. Antakarana Sarira atau badan penyebab merupakan atman yang merupakan sumber kehidupan dari keseluruhan badan yang ada. Atman mempunyai sifat yang sama dengan asalnya yaitu Paramaatman atau Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja atman merupakan percikan terkecil dari Tuhan sehingga walaupun mempunyai sifat yang sama tetapi tidak sama dalam hal kemampuan. 
Atman dan roh berbeda, roh merupakan suksma sarira sedangkan atman adalah penyebab kehidupan yang mana semua hasil dari karma melekat pada atman ini. Apabila seseorang yang sudah meninggal itu harus kembali lagi ke dunia, maka dia harus melepas suksma sariranya yang lama dan kembali ke dalam bentuk atman, kemudian akan mendapat suksma dan stula sarira yang baru. Makanya dia akan lupa bagaimana dia ada di kehidupan sebelumnya karena akal dan pikiran yang merupakan tempat penyimpanan memory ada pada sukma sarira sebelumnya. Apabila seseorang kehilangan rohnya/suksma sarira, orang itu tetap masih hidup tetapi tidak punya akal dan pikiran lagi dan akan mudah diombang-ambing.

Inti badan yang sebenarnya adalah atman, begitu atman terlepas dari badan kasar dan badan halus, maka kedua badan itu tidak akan diperlukan lagi. Sesuatu yang diciptakan sudah pasti lama kelamaan akan usang termakan usia dan tidak akan bisa digunakan lagi. Seperti diibaratkan sebuah komputer, dimana badan kasar adalah perangkat kerasnya, badan halus adalah perangkat lunaknya/software, dan listrik adalah atman. Apabila ketiga unsur itu berjalan normal, maka anda akan dengan mudah mengoperasikannya. Seandainya ada kerusakan pada perangkat keras, sudah tentu komputer tersebut tidak akan bisa digunakan lagi dan harus dilakukan penggantian alat baru bahkan komputer yang baru. Dan apabila ada kerusakan pada softwarenya, maka komputer itu masih bisa hidup tetapi tidak bisa digunakan. Dan apabila listriknya mati sudah tentu tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.

Jadi sama halnya Tri Sarira dengan perumpamaan di atas, badan kasar yang sudah rusak atau sudah usang sudah tentu tidak akan bisa digunakan lagi. Kalau sebuah komputer rusak mungkin anda bisa buang atau dijual ke tempat barang bekas. Bagaimana dengan tubuh manusia, apakah bisa dijual atau dibuang begitu saja? Tentu saja tubuh manusia tidak serendah komputer yang merupakan buatan manusia. Unsur penciptaan badan kasar terdiri dari 5 macam yang disebut sebagai Panca Maha Bhuta yang diantaranya :

  1. Akasa atau rongga; tanpa adanya rongga segala benda padat/organ tubuh tidak akan bisa diposisikan dan tidak akan ada aliran apapun apabila seandainya sebuah tubuh dipenuhi benda padat. Maka dari itu akasa adalah bagian yang pertama.
  2. Pertiwi atau organ padat; merupakan benda padat/organ-organ tubuh yang digunakan untuk proses pencernaan serta pemerosesan lainnya. Organ tubuh tersebut antara lain hati, paru-paru, jantung, usus, tulang, kulit dan organ padat lainnya.
  3. Bayu atau udara; di dalam rongga sudah pasti ada udara, disamping itu udara juga dibutuhkan untuk proses pernafasan dan pembakaran sehingga menjadi energi. 
  4. Apah atau darah; darah yang mengalir melalui pembuluh akan membantu mengalirkan sari-sari makanan sehingga energi.
  5. Teja atau panas; dari hasil pemrosesan akan mengasilkan panas dan akan menghasilkan suhu yang tetap. Suhu ruangan yang tidak bagus akan berpengaruh pada kondisi tubuh misalnya kalau terlalu dingin akan membuat kita mengalami hypotermia atau kalau terlalu panas akan mengakibatkan dehidrasi. 
Unsur badan kasar ini mempunyai bahan yang sama dengan unsur penciptaan alam semesta. Maka dari itu badan manusia disebut sebagai Buana Alit (Mikrokosmos) dan alam semesta disebut sebagai Buana Agung (Makrokosmos). Hanya saja untuk Buana Agung pengertiannya lebih luas yaitu Akasa merupakan ruang angkasa, Pertiwi adalah planet, bintang, meteor, dll. Bayu merupakan udara, Apah adalah air, dan Teja adalah panas/api dalam inti. Badan kasar yang terdiri dari lima unsur tersebut harus dikembalikan ke asalnya semula sehingga di adakanlah upacara ngaben untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta kembali ke asalnya. Upacara ngaben ini tidak harus dilakukan secara kremasi saja yang penting sudah menggunakan salah satu unsur penciptaannya. Misalnya dikubur yang artinya menggunakan unsur pertiwi/tanah, dihanyutkan yang artinya menggunakan unsur Apah/air (seperti orang India di sungai Gangga). Diantara tata cara ngaben yang ada, kremasi adalah yang utama.


Kenapa kremasi adalah utama dalam ngaben?
Dalam kremasi semua unsur akan kembali dengan cepat. Teja akan kembali ke panas (api), Apah akan kembali ke air (menjadi uap), Bayu akan kembali ke udara, Pertiwi akan kembali ke tanah (abu), dan Akasa akan kembali ke hampa. Dan semuanya kembali dalam waktu yang tidak lama. Itulah sebabnya kenapa umat Hindu sebagian besar melakukan kremasi dalam prosesi upacara ngabennya. Hanya sedikit ada yang melakukan dengan cara dikubur karena desa, kala, patra (tempat, waktu dan kondisi) yang tidak sesuai.

Kremasi memang kelihatan kejam, bahkan banyak non-Hindu mengatakan sangat tidak berprikemanusiaan. Tetapi memang begitulah cara yang paling tepat untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta. Badan kasar sudah tidak bisa digunakan lagi. Roh dan atman juga sudah tidak melekat lagi dalam badan kasar. Maka apapun yang dilakukan pada badan kasar tidak akan mempengaruhi badan halus dan badan penyebabnya. Bahkan dengan dilakukannya hal tersebut akan membantu jiwa/Atman agar segera bisa terlepas dari duniawi dan bisa melanjutkan ke proses selanjutnya.

Rabu, 06 April 2016

Bergesernya Tradisi di Bali Akibat Penjajahan

Tradisi/budaya Bali sebenarnya tidak lepas dari ajaran Weda, hanya saja dengan begitu banyaknya campur tangan akhirnya tradisi yang sudah sesuai dan lengkap akhirnya berubah sesuai dengan keinginan manusia. Salah satu contoh tradisi yang bergeser adalah catur warna yang menjadi kasta. Padahal dalam kitab suci Hindu sudah jelas dituliskan bahwa catur warna adalah pembagian manusia berdasarkan kualitas dan keahliannya. Dan hal ini juga sudah dipertegas oleh sloka Bhagawad Gita IV-13 : "Catur Varna (Warna) adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja; tapi ketahuilah walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku".

Pembagian catur warna sendiri adalah

  1. Brahmana : golongan yang mempunyai keahlian di bidang pelaksanaan keagamaan. Golongan ini cocok ditempatkan sebagai pendeta atau sulinggih, pemangku, guru kerohanian.
  2. Ksatria : golongan yang ahli di bidang ke ketatanegaraan, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur jalannya suatu negara dan pembela negara, misalnya prajurit/tentara, menteri, pemerintah.
  3. Weisya : golongan yang ahli di bidang ekonomi, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur perekonomian, misalnya pengusaha, pedagang, petani.
  4. Sudra : golongan yang mendedikasikan diri untuk memberikan pelayanan terhadap suatu pekerjaan. Sehingga golongan ini cocok ditempatkan sebagai buruh atau karyawan.
Dilihat dari pembagian beserta dengan maksud yang ada dalam catur warna, sudah jelas sekali ada perbedaan antara catur warna dan kasta. Catur warna lebih mementingkan ke profesi sedangkan kasta lebih cenderung ke wangsa/keturunan.

Bagaimana kasta bisa terbentuk ?
Pada awal kehidupan di Bali bahkan sampai masuknya Majapahit di bali tidak mengenal adanya kasta. Ini terbukti dengan nama-nama orang Bali termasuk petingginya yang tidak menggunakan kata sandang apapun, misalnya Ida Bagus, Gusti Ngurah, I Dewa, dll. Yang menjadi raja ataupun petingginya tidak harus dari keluarga bangsawan atau wangsa tertentu. Seperti contoh di Jawa, Kerajaan Singosari yang dibangun oleh seorang pemuda biasa yang bernama Ken Arok, Kerajaan Majapahit dibangun oleh menantu bekas raja Singosari yaitu Raden Wijaya dan akhirnya juga mendapat seorang patih dari rakyat biasa yang bernama Gajah Mada. Di Bali sendiri semenjak masih dalam masa Kerajaan Bedahulu, rajanya masih menggunakan nama aslinya, misalnya Kesari Warmadewa menjadi Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena menjadi Sri Ugrasena, Udayana menjadi Sri Udayana. Jadi hanya ditambahkan kata "Sri" sebagai abiseka bahwa beliau adalah seorang raja. Patih-patihnya pun bernama Ki Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis, dll yang hanya dari rakyat biasa. Jadi sudah jelas sekali bahwa jaman dulu Bali tidak mengenal kasta. Tetapi yang dipentingkan adalah keahlian.

Kemudian setelah kedatangan penjajah Belanda dengan politik adu dombanya, direncanakanlah pengkotak-kotakan masyarakat Bali ke dalam sistem kasta. Sistem kasta ini ditiru dari penerapan sistem kasta yang sudah berhasil diterapkan oleh sekutunya yaitu Inggris di India. Maka Belanda juga ingin melakukan hal yang sama terhadap rakyat Bali dan sayangnya berhasil. Akhirnya semenjak itulah Warna (catur warna) disalah artikan menjadi kasta dan mulailah pemakaian kata sandang untuk kaum bangsawan sampai ke keturunannya.

Disamping itu pengkotak-kotakan masyarakat Bali dilakukan juga dalam hal pembagian waris. Pada awal Bali, anak perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam hal warisan. Perbedaannya hanya jumlahnya yaitu "a suun" (mengangkat dengan kepala) untuk anak perempuan dan "a tegen" (mengangkat dengan bahu) untuk anak laki-laki. Artinya anak perempuan mendapat setengah dari anak laki-laki. Kecuali untuk warisan yang bersifat pusaka keluarga memang harus diserahkan kepada anak laki-laki. Penjajah juga akhirnya menghapus hak-hak anak perempuan dalam hal warisan dan sebagainya.

Begitulah tragisnya perubahan tradisi dalam tatanan masyarakat Bali yang sudah maju dan akhirnya hancur sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Untungnya sekarang kehancuran tradisi ini sudah mulai luntur, perbedaan kasta sudah mulai pudar dan persamaan hak antara anak perempuan dan laki-laki sudah mulai diakui. Memang belum semua orang melakukannya, tetapi semoga untuk kedepannya masyarakat Bali bisa kembali lagi ke ajaran Weda yang sesungguhnya.

Selasa, 05 April 2016

Agama Adalah Petunjuk Jalan

Berdasarkan sloka Bhagavad Gita Bab IV-11 "Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan". Sebenarnya sloka ini bukan berarti apapun agama yang dianut, berati Tuhan akan langsung menerimanya. Jalan sebenarnya yang dimaksud adalah catur marga yaitu 4 jalan/cara untuk mencapai Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Catur marga terdiri dari :

  1. Bhakti Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui berbhakti/sembahyang, membaca doa dan kidung suci, mencintai dan menjaga semua ciptaan-Nya.
  2. Jnana Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui pengetahuan, mengamalkan pengetahuan-pengetahuan suci, membagi pengetahuan suci (yang benar) baik itu tentang saints ataupun spiritual.
  3. Karma Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui perbuatan, melakukan pekerjaan sebaik-baiknya tanpa mengeluh, membantu sesama mahluk Tuhan, selalu mengamalkan Tri Kaya Parisudha.
  4. Raja/Yoga Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui jalan yoga, meditasi, pemusatan pikiran dan melepaskan semua ikatan duniawi,
Kemudian apa hubungan agama dengan catur marga ini? Catur marga merupakan cara atau jalan untuk mencapai pendekatan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, hanya dilakukan melalui 4 cara tersebut. Sedangkan agama merupakan panduan yang menjadi penuntun untuk melaksanakan catur marga tersebut.

Lalu apakah semua agama melakukan catur marga tersebut?
Jawabannya bisa iya bisa tidak. Dalam agama Hindu sendiri sudah jelas filosofi catur marga tersirat dalam Weda, sehingga sudah pasti melakukan apa yang ada dalam catur marga. Dari keempat jalan itu tidak harus semua dilakukan, yang penting selalu diikuti oleh Bhakti Marga. Bisa hanya melakukan Bhakti dan Jnana, Bhakti dan Karma, atau Bhakti dan Raja. Agama Hindu di masing-masing daerah juga melakukan hal yang berbeda. Contohnya agama Hindu di Bali yang melakukan Bhakti dan Karma Marga, agama Hindu di India melakukan Bhakti dan Raja Marga, dan saya sendiri melakukan Bhakti dan Jnana Marga.

Untuk agama selain Hindu, secara tidak langsung sebenarnya juga melakukan catur marga tersebut. Misalnya agama Kristen melakukan bhakti dan karma marga karena yang terpenting adalah perbuatan, agama Budha melakukan bhakti dan Raja marga karena yang terpenting adalah pemusatan pikiran untuk melepaskan ikatan duniawi, dan agama lainnya tergantung cara pandang masing-masing.

Jadi pada dasarnya semua agama sudah menganjurkan untuk melakukan catur marga tersebut hanya saja konsepnya tidak ada. Tuhan tidak memerlukan agama, manusialah yang perlu agama sebagai pemandu untuk melakukan catur marga tersebut. Dengan demikian agama lebih baik disebut sebagai penunjuk jalan. Sekarang tinggal manusianya yang memilih apakah akan mengikuti petunjuk yang salah atau yang benar.