Selasa, 26 Juli 2016

Dewa dan Bhatara

Masih banyak orang yang masih bingung dengan perbedaan dari masing-masing kata Dewa dan Bhatara. Terkadang ada yang mengatakan kedua istilah itu sama, tetapi ada juga yang bilang berbeda tetapi walaupun demikian tidak mengerti maksud yang sebenarnya. Dalam agama Hindu, kedua bentuk jiwa tersebut memang memiliki kedudukan tinggi. Untuk lebih jelasnya berikut adalah arti dari istilah-istilah tersebut :

Dewa berasal dari kata "Div" dalam bahasa sansekerta yang artinya bersinar. Jadi Dewa berarti sinar suci dari Brahman/Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Waca. Dewa merupakan jiwa/mahluk suci yang tinggal di nirwana/surga. Musuh para Dewa adalah Asura (raksasa). Walaupun demikian, tidak semua asura adalah jiwa yang jahat demikian juga tidak semua dewa itu memiliki sifat yang baik. Fungsi Mereka adalah mengatur jalannya dunia termasuk kehidupan. Diantara pada dewa yang ada, dewa tertinggi disebut sebagai Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Ciwa. Mereka adalah Pencipta, Pemelihara dan Pelebur alam semesta atau diidentikkan sebagai awal, proses dan akhir dari kehidupan. Sedangkan dewa lainnya adalah penguasa unsur dalam alam semesta seperti misalnya Dewa Bayu menguasai unsur angin, Dewa Agni menguasai unsur api, Dewa Baruna menguasai unsur air/laut, Dewi Pertiwi menguasai unsur tanah, dan lain-lain. Dalam Reg Weda disebutkan ada 33 nama dewa diantaranya yang paling banyak disebutkan adalah Indra, Agni, Baruna, Soma. Dewa Baruna sendiri adalah dewa yang juga merupakan asura.

Bhatara berasal dari kata "Bhatr" dalam bahasa sansekerta yang artinya pelindung. Jadi Bhatara adalah jiwa suci yang menjadi pelindung dunia. Di setiap daerah memang memiliki Bhatara yang berbeda-beda. Di Bali sendiri kita mengenal banyak bhatara yang sesungguhnya sudah diketahui bahkan sebelum agama hindu memasuki Bali. Diantara Bhatara yang ada adalah Sang Hyang Sapuh Jagat yang menjaga di persimpangan, Beliau yang bertugas menjaga Bali diantaranya Ratu Niang Sakti, Jero Dukuh Sakti, Ratu Sakti Dalem Ped atau Ida Bhatara Sakti Wawu Rawuh yang menjaga pesisir pantai dan Ida Bhatari Danu yang menjaga Danau, dan lain sebagainya. Asal muasal para bhatara ini adalah memang dari dunia ini baik dari dunia nyata maupun dunia lain. Intinya jiwa yang telah disucikan baik itu jiwa yang berasal dari manusia ataupun mahluk halus, akan menjadi Bhatara. Contohnya leluhur kita yang sudah selesai disucikan dan dilakukan penyembahan terus menerus akan terangkat dengan sendirinya dan menjadi Bhatara. Bahkan penguasa Bali (raja) pada jaman dahulu sebagian besar diangkat menjadi Bhatara dan dibuatkan tempat pemujaan/Pura. Di Bali sendiri banyak dibangun pura untuk melakukan pemujaan kepada Bhatara disamping pemujaan untuk para Dewa, bahkan di setiap rumah terdapat banyak pelinggih/tempat pemujaan yang diperuntukkan untuk para Bhatara misalnya penunggu, pelinggih lebuh, dan merajan yang utamanya adalah memohon perlindungan.

Perbedaan dasar antara Dewa dan Bhatara adalah Dewa merupakan sinar suci dari Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan unsur dasar dari alam semesta sedangkan Bhatara adalah aktifitas Tuhan Yang Maha Esa dalam melindungi alam semesta. Dewa dan Bhatara bisa juga disebut sebagai manifestasi Tuhan karena apapun di dunia ini adalah memang manisfestasi dari Beliau bahkan juga manusia, hewan maupun Tumbuhan karena Tuhan berada di dalam dan di luar ciptaan-Nya.

Apakah Dewa bisa disebut sebagai Bhatara?
Pada dasarnya khususnya di Bali, Dewa memang diidentikkan sebagai Bhatara karena aktifitas Beliau untuk melindungi, akan tetapi orang kadang salah menyebutkan. Contohnya Dewa Wisnu, Beliau yang bertugas sebagai pemelihara alam semesta tidak bisa langsung kita sebut sebagai Bhatara Wisnu. Karena dalam melakukan aktifitasnya Beliau melakukan cara-cara tertentu yang lebih dikenal sebagai Awatara. Maka para awatara inilah yang bisa kita sebut sebagai Bhatara. Contohnya Bhatara Krishna, Bhatara Rama, Bhatara Manu, dll. Contoh lainnya adalah Dewa Ciwa, dalam melakukan aktifitas sebagai pelindung, Beliau bergelar Bhatara Guru. Walaupun insannya sama tetapi kalau aktifitas dan fungsinya berbeda, maka beda juga dalam penyebutan.

Terlihat memang sedikit rumit, kenapa mesti ada sinar suci dan pelindung yang dianggap berbeda tetapi terkadang sama. Kenapa tidak seperti umat lain saja misalnya Islam yang hanya memuja Allah dan memohon perlindungannya atau umat Kristen yang memuja Yesus dan memohon keselamatan darinya. Jadi dalam Hindu semestinya hanya memuja Ida Sang Hyang Widhi/Brahman dan memohon perlindungannya. Tetapi apa yang tertera dalam Hindu, memang seperti itulah cara kerja Tuhan. Sifat Tuhan/Brahman dalam Hindu sangat rumit dan tidak terbatas. Beliau ada dimana-mana (Wibhu Sakti) tetapi tidak bergerak (Acala) dan tidak berpindah-pindah (Sthanu), Beliau ada di dalam dan di luar ciptaan-Nya, Beliau tak terpikirkan (Acintya). Sedangkan dalam Hindu sendiri kita sudah mengenal tentang pembagian fungsi dan tugas baik untuk para Dewa, Bhatara, manusia ataupun mahluk lainnya dan setiap insannya tersebut sudah memiliki tugas yang harus dilakukan. Jadi hal tersebut sebenarnya memang sudah diatur, sehingga dalam dunia nyatapun pembagian tugas ini diadopsi dan dilakukan dalam keseharian yang lebih kita kenal sebagai catur warna.

Apakah salah manusia memuja Dewa dan Bhatara?
Manusia tidak akan salah kalau seandainya melakukan pemujaan kepada para Dewa dan Bhatara. Maksud dari pemujaan tersebut adalah sebagai ungkapan terima kasih dan memohon perlindungan. Tetapi untuk urusan penyerahan diri, maka pemujaan dilakukan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi.

Selasa, 31 Mei 2016

Saguna dan Nirguna Brahman

Brahman dalam agama Hindu merupakan jiwa yang paling utama yang menyebabkan segala sesuatu di alam semesta ini menjadi ada dan tidak ada. Beliau bersifat kekal, tidak berwujud, tak terbatas, tiada berawal dan juga tiada akhir, menguasai segala bentuk, waktu, ruang, energi serta menguasai alam semesta. Di Bali Beliau dikenal dengan gelar Ida Sang Hyang Widhi yang artinya Dia yang maha tahu. Jadi walaupun berbeda nama, Beliau tetap satu.

Dalam Bhagawad Gita dijelaskan mengenai Brahman beberapa diataranya :
Bab VIII. 3 "Yang Tak Dapat Dihancurkan, Yang Maha Agung disebut Sang Brahman. Svabhava (Sang Jati Diri atau Sang Atman yang bersemayam dalam jiwa kita) disebut Adhyatman. Tenaga (ataukekuatan) kreatif yang menciptakan semua mahluk dan benda disebut Kama."

Bab VIII.4 "Yang menjadi inti dari semua benda dan mahluk (yaitu Adhibhuta) sifatnya dapat binasa. Yang menjadi inti para dewa adalah Jiwa Kosmos. Dan Arjuna, di dalam raga ini, Aku Sendiri (sebagai Saksi di dalam) adalah Adhiyagna."

Bab VIII.9 "Ia memujaNya sebagai Yang Maha Mengetahui, sebagai Yang Selalu Hadir Semenjak Masa Yang Amat Silam, sebagai Yang Maha Penguasa, sebagai Yang Maha Tercepat, sebagai Yang Maha Memelihara kita semua, sebagai Yang BentukNya Tak Dapat Dimengerti oleh manusia dan mahluk-mahluk lainnya, tetapi Ia Terang Benderang bagaikan Sang Surya dan jauh dari semua kegelapan."

Karena sifat-sifat Beliau yang maha tidak terbatas, sehingga sangat sulit bagi manusia yang mempunyai akal dan kesadaran yang bisa dibilang masih sangat rendah untuk bisa memahaminya. Maka untuk bisa mencapai sesuatu yang tidak terbatas maka kita harus mempersempit ketidak terbatasan itu. Contoh: misalnya kita harus mengukur luas suatu bidang (suatu area) yang tidak beraturan, maka kita harus mempersempit bidang tersebut dan dibentuk pola-pola bidang datar yang bisa diukur (misal persegi, segi tiga, trapesium, dll) sehingga nantinya kita bisa menemukan jumlah luas keseluruhan dari bidang tak beraturan tersebut.

Sama halnya dengan Brahman, manusia tidak akan mungkin bisa menggambarkan bagaimana Brahman itu sebenarnya. Lalu bagaimana manusia bisa menggambarkan bentuk Tuhan? Kembali lagi ke kitab-kitab suci agama Hindu dimana telah dijelaskan bentuk-bentuk manifestasi dari Tuhan. Beliau adalah Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Surya, Baruna, Kresna, Ramadewa, dll. Apakah benar jiwa-jiwa tersebut adalah pribadi dari Tuhan? Sesuai dengan sifat-sifat dari Brahman/Tuhan yaitu maha kuasa, maha ada, maha tahu dan maha karya, maka untuk menjadi suatu pribadi tertentu tidak akan sulit bagi Beliau. 

Untuk lebih jelas kita kutip sloka Bhagawad Gita berikut :
Bab X.19 "Jika demikian, baiklah Arjuna! AkanKu sabdakan kepadamu sebagian dari bentuk-bentuk suciKu, tetapi hanya bentuk-bentuk yang telah dikenal dan mudah difahami, karena keberadaanKu tak ada batasnya."
Bab X.20 "Aku adalah Jati Diri, oh Arjuna, Yang bersemayam di dalam hati setiap mahluk. Aku adalah permulaan, Yang ditengah-tengah dan juga akhir dari setiap yang ada."
Bab X.21 "Di antara para Aditya Aku adalah Vishnu; di antara cahaya Aku adalah Sang Surya yang terang-benderang. Di antara para Marut Aku adalah Marici, di antara bintang-bintang Aku adalah sang rembulan."
Bab X.22 "Di antara Veda-Veda Aku adalah Sama-Veda, di antara para dewa Aku adalah Indra, di antara indra-indra Aku adalah pikiran; dan Aku adalah kesadaran di antara para mahluk-hidup."
Bab X.23 "Di antara para Rudra Aku adalah Shankara (Shiva), di antara para Yaksha dan Rakshasa Aku adalah Kubera (dewa kekayaan), di antara para Vasu Aku adalah Agni(dewa api), dan di antara puncak-puncak gunung Aku adalah Meru."
Bab X.24 "Di antara para pendeta (pendeta setiap rumah-tangga), oh Arjuna, kenalilah Aku sebagai Brihaspati, sang pemimpin; di antara jenderal-jenderal di peperangan Aku adalah Skanda; di antara danau-danau Aku adalah Samudra."
Bab X.25 "Di antara para resi yang agung Aku adalah Bhrigu, di antara kata-kata Aku adalah satu patah kata OM, di antara yang dipersembahkan Aku adalah persembahan dalam bentuk japa (mengulang-ulang mantra atau puja-puji kepada Yang Maha Esa, atau bisa juga meditasi yang dilakukan secara diam-diam dan tenang), di antara yang tak dapat dipindah-pindahkan Aku adalah Himalaya."
Bab X.26 "Di antara pepohonan Aku adalah pohon Asvattha, di antara para resi suci Aku adalah Narada, di antara para ghandharva Aku adalah Citraratha, dan di antara yang telah disempurnakan Aku adalah resi Kapila."
Bab X.27 "Di antara kuda-kuda Aku adalah Uchaishvara yang lahir dari air-suci (tirta), di antara gajah Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah Raja."
Bab X.28 "Di antara senjata Aku adalah halilintar, di antara sapi Aku adalah Kamadhuk, Sapi Kemakmuran; di antara leluhur (nenek-moyang) Aku adalah Kandarpa, Kasih Nan Kreatif; dan di antara ular Aku adalah Vasuki."
Bab X.29 "Di antara Naga Aku adalah Ananta, di antara mahluk-mahluk lautan Aku adalah Varuna, dianatara pitri (arwah leluhur) Aku adalah Aryaman, dan di antara para penguasa Aku adalah Yama, Raja Maut."
Bab X.30 "Di antara Daitya Aku adalah Prahlada, di antara benda-benda yang mengukur Aku adalah Sang Waktu, di antara binatang yang buas Aku adalah raja-hutan (singa), dan di antara burung-burung Aku adalah putra sang Vinata (Garuda)."
BabX.31 "Di antara para penyuci Aku adalah sang Vayu (angin), di antara para pendekar (pahlawan) Aku adalah Sang Rama, di antara ikan Aku adalah Makara, di antara sungai Aku adalah sungai Gangga."

Kenapa diperlukan suatu bentuk? 
Pikiran manusia yang terbatas tidak akan bisa mencapai sesuatu yang tidak terbatas. Maka diperlukan suatu media/bentuk yang bisa menghubungkan atau memusatkan pikiran manusia kepada pribadi yang dipuja (Brahman/Tuhan). Maka dari itu dalam agama Hindu dikenal istilah Saguna Brahman dan Nirgunam Brahman. Saguna artinya memiliki atribut sehingga Saguna Brahman adalah Tuhan yang mempunyai nama, bentuk dan atribut lainnya. Sedangkan Nirgunam artinya tanpa atribut sehingga Nirgunam Brahman adalah Tuhan merupakan jiwa suci yang tidak mempunyai bentuk, tidak punya nama, ataupun atribut lainnya. Untuk lebih mudahnya, seseorang yang memuja Tuhan sebagai Saguna Brahman akan cenderung untuk melakukan pemujaan kepada Dewa-Dewi dan memusatkan pikiran pada pribadi Dewa yang disembah. Sedangkan seseorang yang memuja Tuhan sebagai Nirgunam Brahman tidak akan mempersonifikasikan lagi pribadi Beliau karena sudah mencapai tahap pencerahan tertinggi untuk bisa mamahami dan merasakan kehadiran Brahman.

Seseorang yang tingkat spiritualitasnya masih rendah akan membutuhkan media dalam pemujaannya. Sehingga kebanyakan orang akan memuja Beliau sebagai pribadi yang mempunyai bentuk dan dibuatkanlah simbol baik berupa arca, relief ataupun gambar. Dalam sarana upacaranya juga akan masih memakai persembahan apakah banten, persembahan buah atau makanan, maupun kurban. Sedangkan bagi mereka yang sudah mempunyai tingkat spiritual tinggi, tidak akan memerlukan media apapun karena dia sudah bisa merasakan kehadiran Tuhan sebagai nirguna brahman dan akan mempersembahkan dirinya sendiri. Mempersembahkan diri sendiri dalam hal ini bukan berarti melakukan tindakan bunuh diri demi mempersembahkan nyawanya kepada Tuhan atau berperang atas nama Tuhan. Melainkan melepaskan semua ikatan duniawi. memutuskan semua hubungan/tidak bergantung lagi dengan siapapun, tidak mempunyai nafsu ataupun ambisi apapun, hanya berserah dan selalu memuja Beliau sampai tercapai tujuannya yaitu Moksa.  

Kamis, 19 Mei 2016

Agama Yang Universal

Setiap agama pastinya menyatakan diri sebagai agama yang paling universal. Kalau kita lihat kembali arti dari universal itu sendiri yaitu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, universal artinya yang bersifat umum (berlaku untuk semua orang dan seluruh dunia). Sedangkan dalam Wikipedia, universal berarti konsep yang dipercaya umat manusia tanpa membeda-bedakan apakah manusia itu berkulit hitam, berkulit putih, beragama islam maupun kristen, apakah ia Tionghoa atau orang Amerika atau lebih tepatnya tidak bersifat deskriminatif.

Jadi kalau kita ambil kesimpulan suatu agama bisa disebut universal apabila :

  1. Bisa diberlakukan kepada semua orang dan seluruh dunia.
  2. Tidak membeda-bedakan ras, budaya, golongan, suku
  3. Dapat bercampur dengan budaya lokal tanpa mengubah pola budaya yang ada
  4. Dengan tidak mengubah pola budaya setempat, tetapi bisa menjadi akar filsafat dan menjadi konsep utama.
  5. Memiliki konsep ketuhanan yang universal (Tuhannya tidak membeda-bedakan umatnya walaupun berkeyakinan berbeda).
Karena dalam hal ini kita membicarakan Hindu, maka kita lihat apakah Hindu merupakan agama yang universal atau tidak. Berdasarkan fakta yang ada, masuknya agama Hindu tidak pernah mengubah ataupun merusak budaya lokal. Misalnya di Indonesia, agama Hindu berkembang dengan tetap menjunjung tinggi adat leluhur dan mengkulturasikannya dengan budaya setempat. Tidak ada pemaksaan budaya India harus diterapkan di Indonesia. Sehingga Hindu di Indonesia akan berbeda dengan Hindu di India tetapi mempunyai konsep yang sama yaitu berdasarkan Weda. Bahkan di Indonesia sendiri pola budaya agama Hindu masing-masing daerah juga berbeda karena adatnya yang berbeda.  

Adanya kebangkitan Hindu di beberapa daerah, seolah-olah menunjukkan adanya Balinisasi yang terjadi. Padahal sebenarnya Balinisasi yang terjadi sebagai akibat dari suatu daerah yang memulai lagi agama Hindu dari awal, masih belum mempunyai dasar yang pasti sesuai dengan Tiga Kerangka Dasar agama Hindu yaitu Tatwa, Etika dan Upakara. Maka dari segi upakara, daerah lain sering meniru dari Upakara Bali, sedangkan untuk Tatwa dan Etika masih tetap berpegangan pada budaya awal. Contohnya pakaian sembahyang ke pura di Bali berbeda dengan di Jawa, tetapi upakaranya sama. Karena sudut pandang yang berbeda, maka hal tersebut malah diidentikkan dengan Balinisasi. 

Berdasarkan beberapa sloka dalam Bhagavad Gita di antaranya :

BG IV.7 : "Sesungguhnya dikala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani merajalela, wahai Arjuna, saat itu Aku ciptakan diri-Ku sendiri".  

BG IV.8 :"Untuk melindungi orang-orang baik dan untuk memusnahkan orang yang jahat, Aku lahir ke dunia dari masa ke masa untuk menegakkan Dharma". 

BG IV.11: "Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan". 

Berdasarkan sloka di atas, Hindu mengajarkan bahwa Tuhan bukan hanya melindungi umat seagamanya saja, tetapi berdasarkan karma yang dilakukan. Bahkan Beliau juga tidak membeda-bedakan keyakinan umatnya tetapi menerima jalan apapun yang dilalui melalui Catur Marga Yoga ("Bukan menerima agama apapun"). Dan kalau diteliti lebih dalam lagi, dalam Weda Sruti maupun Smerti tidak satupun ditemukan sloka yang menunjukan bahwa umat Hindu diharuskan untuk memerangi orang yang keyakinannya berbeda. Perang yang malah dianjurkan adalah memerangi Adharma (ketidakbaikan), Kebodohan (Awidya), Sad Ripu (Musuh dalam diri), dan lainnya yang menyangkut prilaku tidak benar. 

Maka dengan demikian, kita sebenarnya sudah bisa melihat keuniversalan Hindu dalam hal ketuhanan maupun kehidupan sosial. Tetapi dalam kehidupan sebenarnya kadang Hindu dianggap memberatkan karena upacara yang besar dan rumit serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Padahal itu bukan salah dari ajaran Hindu, tetapi salah adat yang diatur oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dan egois. Maka dari itu hendaknya umat Hindu bisa sadar diri dan menyadarkan orang lain tentang keuniversalan Hindu tersebut. 

Rabu, 13 April 2016

Kebenaran Hindu

Apakah Hindu adalah agama yang paling benar? Tak satupun dalam Weda ditemukan sloka-sloka yang menunjukkan bahwa Hindu adalah agama yang paling benar. Bahkan kata Hindu tidak satupun ada dalam Weda. Bagaimana sebenarnya Hindu itu lahir dan kapan, belum juga ada yang tahu. Hanya menurut sejarah, ajaran Hindu pertama kali dibawa oleh bangsa Arya ke India pada tahun 1400SM dan itupun bukan bernama Hindu tetapi Sanatana Dharma (kebenaran yang abadi). Kata Hindu didapat dari bangsa Persia yang melihat orang India di seberang sungai Sindhu sehingga disebutlah kata Hindu.

Dalam sejarah, Hindu merupakan agama tertua di dunia. Tetapi ada juga agama lain yang mengklaim bahwa bukan Hindu yang pertama tetapi agamanya karena menyangkut kelahiran manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Sedangkan dalam Hindu sendiri juga disebutkan ada manusia pertama yang disebut Manu yang merupakan beberapa golongan manusia yang terlahir pertama kali saat alam semesta selesai tercipta.

Kalau disimak dari siklus alam semesta, hanya dalam Hindu yang paling lengkap mengenai penciptaan, proses dalam siklus beserta dengan jamannya, serta peleburan alam semesta dalam bentuk maha pralaya. Dalam Hindu, disebutkan ada 4 macam jaman yang disebut Catur Yuga yang diantaranya :

  1. Satya Yuga; merupakan jaman keemasan yang mempunyai masa 1.728.000 tahun, dimulai dari awal penciptaan alam semesta ataupun setelah hari pralaya (masa berakhirnya Kaliyuga sebelumnya). Pada jaman ini karakter manusianya memiliki kesadaran akan dharma, budi luhur, mempunyai moral yang baik, dan kebenaran sangat dijunjung setinggi-tingginya. Tidak satupun ada kejahatan yang dilakukan. Berakhirnya jaman ini akan membawa ke jaman yang baru yaitu Treta Yuga. 
  2. Treta Yuga; merupakan jaman kerohanian mempunyai masa 1.296.000 tahun. Pada jaman ini sifat kerohanian sudah muncul, agama menjadi dasar, orang yang pandai dan memiliki wawasan luas, serta ahli filsafat akan sangat dihormati. Hanya saja kejahatan sudah mulai muncul walaupun sangat sedikit sekali. Berakhirnya Treta Yuga kemudian dilanjutkan dengan Dwapara Yuga.
  3. Dwapara Yuga, merupakan jaman ritual mempunyai masa 864.000 tahun. Pada jaman ini kejahatan dan orang-orang berdosa sudah mulai bermunculan. Kelicikan dan kebohongan sudah mulai terlihat. Orang yang banyak melakukan ritual adalah orang paling dihormati. Jaman ini diidentikkan terjadi pada saat cerita Maha Bharata terjadi sampai sepeninggal Sri Krishna. Berakhirnya Dwapara Yuga maka dimulailah Kaliyuga,
  4. Kaliyuga; merupakan jaman kegelapan mempunyai masa 432.000 tahun. Pada jaman ini kejahatan sudah merajalela, kebohongan, fitnah, tindah kekerasan ada dimana-mana, murid sudah berani melawan gurunya, dharma sudah tidak dianggap lagi. Berakhirnya jaman ini mengakibatkan terjadinya pralaya (kiamat kecil) yang membuat jaman kembali lagi ke Satya Yuga atau bahkan mahapralaya (kiamat besar) yang mengakibatkan kehancuran alam semesta.
Siklus jaman ini terjadi bukan hanya sekali tetapi berkali-kali seperti siklus dalam musim. Satu kali siklus Catur Yuga ini disebut sebagai Mahayuga, sedangkan Mahayuga terjadi sebanyak 71 kali yang disebut satu Manwantara. Setiap Manwantara dipimpin oleh manu yang baru. Setelah terjadi 14 kali Manwantara disebut sebagai satu Kalpa. Satu Kalpa adalah satu hari Brahman atau 1 hari untuk Tuhan. Maka setelah 1 kalpa ini berlangsung maka alam semesta akan dihancurkan (mahapralaya) dan akan dibuat alam semesta yang baru.

Berdasar pada cerita awatara yang terkenal sebagai Dasa Awatara dimana awatara yang pertama adalah Matsya Awatara yang berwujud ikan besar demi menyelamatkan manu dari air bah. Kejadian inilah sebenarnya awal dari Satya Yuga. Kenapa hanya menyelamatkan manu? Seperti kita ketahui setiap Manwantara dipimpin oleh manu yang baru, maka manusia-manusia yang hidup pada jaman sebelumnya (pada masa kaliyuga sebelumnya) yang sudah memiliki akhlak yang buruk akan dibinasakan. Tetapi dalam hal ini sebenarnya tidak semuanya akan dibinasakan. Hanya yang memiliki akhlak buruk saja, tetapi yang masih menjunjung Dharma akan tetap diselamatkan.

Berdasarkan siklus jaman yang ada, Hindu sudah mengetahui akan adanya siklus tersebut. Hal ini berarti ajaran Sanatana Dharma ini memang sudah ada di awal penciptaan, mengingat karena perubahan Mahayuga sebagai akibat dari pralaya, maka asal usul ajaran ini menjadi kabur. Sehingga tidak bisa dipastikan kapan ajaran Weda ini sebenarnya lahir. Ini juga berarti walaupun dengan adanya perubahan siklus jaman ini, Sanatana Dharma masih bisa tetap hidup walaupun mencapai kemunduran sampai akhirnya mencapai kembali masa gemilangnya.

Kalau dikilas lebih lanjut, ajaran-ajaran lain selain Hindu baru lahir setelah masa Kaliyuga, sedangkan kita tahu bagaimana kondisi jaman Kali tersebut. Bukan bermaksud merendahkan ajaran-ajaran lain yang lahir di jaman Kali tersebut, ini tergantung kebijaksanaan kita dalam menelaah ajaran tersebut.  

Selasa, 12 April 2016

Unsur - Unsur Badan Dalam Hindu

Dalam agama Hindu dikenal ada 3 jenis badan yaitu Stula Sarira, Suksma Sarira dan Antakarana Sarira yang disebut sebagai Tri Sarira. Ketiga jenis tubuh inilah yang menjadi kesatuan sehingga manusia bisa hidup dengan selayaknya manusia normal. Apabila salah satu tubuh ini terlepas maka sudah pasti akan terjadi ketidak seimbangan ataupun kematian. Penjabaran dari masing-masing badan tersebut adalah :

  1. Stula Sarira atau badan kasar, merupakan badan yang bisa dilihat, diraba, dirasakan, mempunyai bentuk tetapi tidak memiliki kehidupan.
  2. Suksma Sarira atau badan halus, merupakan badan yang memiliki bentuk, akan tetapi tidak bisa dilihat ataupun diraba dan merupakan letak dari akal dan pikiran manusia. Badan ini diidentikkan dengan roh manusia. Orang yang meninggal akan meninggalkan badan kasarnya dan menjadi roh dan menempati alam Pitara sampai waktunya dia kembali lagi ke dunia. Kenapa menjadi roh, bukan menjadi atman? Buktinya adalah terkadang ada orang yang memiliki kemampuan lebih/indra ke-enam yang mampu membuat orang itu melihat roh orang yang sudah meninggal dimana mempunyai bentuk dan wajah sama seperti saat keadaan masih hidup. 
  3. Antakarana Sarira atau badan penyebab merupakan atman yang merupakan sumber kehidupan dari keseluruhan badan yang ada. Atman mempunyai sifat yang sama dengan asalnya yaitu Paramaatman atau Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja atman merupakan percikan terkecil dari Tuhan sehingga walaupun mempunyai sifat yang sama tetapi tidak sama dalam hal kemampuan. 
Atman dan roh berbeda, roh merupakan suksma sarira sedangkan atman adalah penyebab kehidupan yang mana semua hasil dari karma melekat pada atman ini. Apabila seseorang yang sudah meninggal itu harus kembali lagi ke dunia, maka dia harus melepas suksma sariranya yang lama dan kembali ke dalam bentuk atman, kemudian akan mendapat suksma dan stula sarira yang baru. Makanya dia akan lupa bagaimana dia ada di kehidupan sebelumnya karena akal dan pikiran yang merupakan tempat penyimpanan memory ada pada sukma sarira sebelumnya. Apabila seseorang kehilangan rohnya/suksma sarira, orang itu tetap masih hidup tetapi tidak punya akal dan pikiran lagi dan akan mudah diombang-ambing.

Inti badan yang sebenarnya adalah atman, begitu atman terlepas dari badan kasar dan badan halus, maka kedua badan itu tidak akan diperlukan lagi. Sesuatu yang diciptakan sudah pasti lama kelamaan akan usang termakan usia dan tidak akan bisa digunakan lagi. Seperti diibaratkan sebuah komputer, dimana badan kasar adalah perangkat kerasnya, badan halus adalah perangkat lunaknya/software, dan listrik adalah atman. Apabila ketiga unsur itu berjalan normal, maka anda akan dengan mudah mengoperasikannya. Seandainya ada kerusakan pada perangkat keras, sudah tentu komputer tersebut tidak akan bisa digunakan lagi dan harus dilakukan penggantian alat baru bahkan komputer yang baru. Dan apabila ada kerusakan pada softwarenya, maka komputer itu masih bisa hidup tetapi tidak bisa digunakan. Dan apabila listriknya mati sudah tentu tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.

Jadi sama halnya Tri Sarira dengan perumpamaan di atas, badan kasar yang sudah rusak atau sudah usang sudah tentu tidak akan bisa digunakan lagi. Kalau sebuah komputer rusak mungkin anda bisa buang atau dijual ke tempat barang bekas. Bagaimana dengan tubuh manusia, apakah bisa dijual atau dibuang begitu saja? Tentu saja tubuh manusia tidak serendah komputer yang merupakan buatan manusia. Unsur penciptaan badan kasar terdiri dari 5 macam yang disebut sebagai Panca Maha Bhuta yang diantaranya :

  1. Akasa atau rongga; tanpa adanya rongga segala benda padat/organ tubuh tidak akan bisa diposisikan dan tidak akan ada aliran apapun apabila seandainya sebuah tubuh dipenuhi benda padat. Maka dari itu akasa adalah bagian yang pertama.
  2. Pertiwi atau organ padat; merupakan benda padat/organ-organ tubuh yang digunakan untuk proses pencernaan serta pemerosesan lainnya. Organ tubuh tersebut antara lain hati, paru-paru, jantung, usus, tulang, kulit dan organ padat lainnya.
  3. Bayu atau udara; di dalam rongga sudah pasti ada udara, disamping itu udara juga dibutuhkan untuk proses pernafasan dan pembakaran sehingga menjadi energi. 
  4. Apah atau darah; darah yang mengalir melalui pembuluh akan membantu mengalirkan sari-sari makanan sehingga energi.
  5. Teja atau panas; dari hasil pemrosesan akan mengasilkan panas dan akan menghasilkan suhu yang tetap. Suhu ruangan yang tidak bagus akan berpengaruh pada kondisi tubuh misalnya kalau terlalu dingin akan membuat kita mengalami hypotermia atau kalau terlalu panas akan mengakibatkan dehidrasi. 
Unsur badan kasar ini mempunyai bahan yang sama dengan unsur penciptaan alam semesta. Maka dari itu badan manusia disebut sebagai Buana Alit (Mikrokosmos) dan alam semesta disebut sebagai Buana Agung (Makrokosmos). Hanya saja untuk Buana Agung pengertiannya lebih luas yaitu Akasa merupakan ruang angkasa, Pertiwi adalah planet, bintang, meteor, dll. Bayu merupakan udara, Apah adalah air, dan Teja adalah panas/api dalam inti. Badan kasar yang terdiri dari lima unsur tersebut harus dikembalikan ke asalnya semula sehingga di adakanlah upacara ngaben untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta kembali ke asalnya. Upacara ngaben ini tidak harus dilakukan secara kremasi saja yang penting sudah menggunakan salah satu unsur penciptaannya. Misalnya dikubur yang artinya menggunakan unsur pertiwi/tanah, dihanyutkan yang artinya menggunakan unsur Apah/air (seperti orang India di sungai Gangga). Diantara tata cara ngaben yang ada, kremasi adalah yang utama.


Kenapa kremasi adalah utama dalam ngaben?
Dalam kremasi semua unsur akan kembali dengan cepat. Teja akan kembali ke panas (api), Apah akan kembali ke air (menjadi uap), Bayu akan kembali ke udara, Pertiwi akan kembali ke tanah (abu), dan Akasa akan kembali ke hampa. Dan semuanya kembali dalam waktu yang tidak lama. Itulah sebabnya kenapa umat Hindu sebagian besar melakukan kremasi dalam prosesi upacara ngabennya. Hanya sedikit ada yang melakukan dengan cara dikubur karena desa, kala, patra (tempat, waktu dan kondisi) yang tidak sesuai.

Kremasi memang kelihatan kejam, bahkan banyak non-Hindu mengatakan sangat tidak berprikemanusiaan. Tetapi memang begitulah cara yang paling tepat untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta. Badan kasar sudah tidak bisa digunakan lagi. Roh dan atman juga sudah tidak melekat lagi dalam badan kasar. Maka apapun yang dilakukan pada badan kasar tidak akan mempengaruhi badan halus dan badan penyebabnya. Bahkan dengan dilakukannya hal tersebut akan membantu jiwa/Atman agar segera bisa terlepas dari duniawi dan bisa melanjutkan ke proses selanjutnya.

Rabu, 06 April 2016

Bergesernya Tradisi di Bali Akibat Penjajahan

Tradisi/budaya Bali sebenarnya tidak lepas dari ajaran Weda, hanya saja dengan begitu banyaknya campur tangan akhirnya tradisi yang sudah sesuai dan lengkap akhirnya berubah sesuai dengan keinginan manusia. Salah satu contoh tradisi yang bergeser adalah catur warna yang menjadi kasta. Padahal dalam kitab suci Hindu sudah jelas dituliskan bahwa catur warna adalah pembagian manusia berdasarkan kualitas dan keahliannya. Dan hal ini juga sudah dipertegas oleh sloka Bhagawad Gita IV-13 : "Catur Varna (Warna) adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja; tapi ketahuilah walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku".

Pembagian catur warna sendiri adalah

  1. Brahmana : golongan yang mempunyai keahlian di bidang pelaksanaan keagamaan. Golongan ini cocok ditempatkan sebagai pendeta atau sulinggih, pemangku, guru kerohanian.
  2. Ksatria : golongan yang ahli di bidang ke ketatanegaraan, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur jalannya suatu negara dan pembela negara, misalnya prajurit/tentara, menteri, pemerintah.
  3. Weisya : golongan yang ahli di bidang ekonomi, sehingga cocok ditempatkan sebagai pengatur perekonomian, misalnya pengusaha, pedagang, petani.
  4. Sudra : golongan yang mendedikasikan diri untuk memberikan pelayanan terhadap suatu pekerjaan. Sehingga golongan ini cocok ditempatkan sebagai buruh atau karyawan.
Dilihat dari pembagian beserta dengan maksud yang ada dalam catur warna, sudah jelas sekali ada perbedaan antara catur warna dan kasta. Catur warna lebih mementingkan ke profesi sedangkan kasta lebih cenderung ke wangsa/keturunan.

Bagaimana kasta bisa terbentuk ?
Pada awal kehidupan di Bali bahkan sampai masuknya Majapahit di bali tidak mengenal adanya kasta. Ini terbukti dengan nama-nama orang Bali termasuk petingginya yang tidak menggunakan kata sandang apapun, misalnya Ida Bagus, Gusti Ngurah, I Dewa, dll. Yang menjadi raja ataupun petingginya tidak harus dari keluarga bangsawan atau wangsa tertentu. Seperti contoh di Jawa, Kerajaan Singosari yang dibangun oleh seorang pemuda biasa yang bernama Ken Arok, Kerajaan Majapahit dibangun oleh menantu bekas raja Singosari yaitu Raden Wijaya dan akhirnya juga mendapat seorang patih dari rakyat biasa yang bernama Gajah Mada. Di Bali sendiri semenjak masih dalam masa Kerajaan Bedahulu, rajanya masih menggunakan nama aslinya, misalnya Kesari Warmadewa menjadi Sri Kesari Warmadewa, Ugrasena menjadi Sri Ugrasena, Udayana menjadi Sri Udayana. Jadi hanya ditambahkan kata "Sri" sebagai abiseka bahwa beliau adalah seorang raja. Patih-patihnya pun bernama Ki Kebo Iwa, Ki Pasung Grigis, dll yang hanya dari rakyat biasa. Jadi sudah jelas sekali bahwa jaman dulu Bali tidak mengenal kasta. Tetapi yang dipentingkan adalah keahlian.

Kemudian setelah kedatangan penjajah Belanda dengan politik adu dombanya, direncanakanlah pengkotak-kotakan masyarakat Bali ke dalam sistem kasta. Sistem kasta ini ditiru dari penerapan sistem kasta yang sudah berhasil diterapkan oleh sekutunya yaitu Inggris di India. Maka Belanda juga ingin melakukan hal yang sama terhadap rakyat Bali dan sayangnya berhasil. Akhirnya semenjak itulah Warna (catur warna) disalah artikan menjadi kasta dan mulailah pemakaian kata sandang untuk kaum bangsawan sampai ke keturunannya.

Disamping itu pengkotak-kotakan masyarakat Bali dilakukan juga dalam hal pembagian waris. Pada awal Bali, anak perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam hal warisan. Perbedaannya hanya jumlahnya yaitu "a suun" (mengangkat dengan kepala) untuk anak perempuan dan "a tegen" (mengangkat dengan bahu) untuk anak laki-laki. Artinya anak perempuan mendapat setengah dari anak laki-laki. Kecuali untuk warisan yang bersifat pusaka keluarga memang harus diserahkan kepada anak laki-laki. Penjajah juga akhirnya menghapus hak-hak anak perempuan dalam hal warisan dan sebagainya.

Begitulah tragisnya perubahan tradisi dalam tatanan masyarakat Bali yang sudah maju dan akhirnya hancur sebagai akibat dari penjajahan Belanda. Untungnya sekarang kehancuran tradisi ini sudah mulai luntur, perbedaan kasta sudah mulai pudar dan persamaan hak antara anak perempuan dan laki-laki sudah mulai diakui. Memang belum semua orang melakukannya, tetapi semoga untuk kedepannya masyarakat Bali bisa kembali lagi ke ajaran Weda yang sesungguhnya.

Selasa, 05 April 2016

Agama Adalah Petunjuk Jalan

Berdasarkan sloka Bhagavad Gita Bab IV-11 "Bagaimanapun (jalan) manusia mendekati-Ku, Aku terima wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan". Sebenarnya sloka ini bukan berarti apapun agama yang dianut, berati Tuhan akan langsung menerimanya. Jalan sebenarnya yang dimaksud adalah catur marga yaitu 4 jalan/cara untuk mencapai Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Catur marga terdiri dari :

  1. Bhakti Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui berbhakti/sembahyang, membaca doa dan kidung suci, mencintai dan menjaga semua ciptaan-Nya.
  2. Jnana Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui pengetahuan, mengamalkan pengetahuan-pengetahuan suci, membagi pengetahuan suci (yang benar) baik itu tentang saints ataupun spiritual.
  3. Karma Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui perbuatan, melakukan pekerjaan sebaik-baiknya tanpa mengeluh, membantu sesama mahluk Tuhan, selalu mengamalkan Tri Kaya Parisudha.
  4. Raja/Yoga Marga : Jalan untuk mendekatkan diri melalui jalan yoga, meditasi, pemusatan pikiran dan melepaskan semua ikatan duniawi,
Kemudian apa hubungan agama dengan catur marga ini? Catur marga merupakan cara atau jalan untuk mencapai pendekatan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, hanya dilakukan melalui 4 cara tersebut. Sedangkan agama merupakan panduan yang menjadi penuntun untuk melaksanakan catur marga tersebut.

Lalu apakah semua agama melakukan catur marga tersebut?
Jawabannya bisa iya bisa tidak. Dalam agama Hindu sendiri sudah jelas filosofi catur marga tersirat dalam Weda, sehingga sudah pasti melakukan apa yang ada dalam catur marga. Dari keempat jalan itu tidak harus semua dilakukan, yang penting selalu diikuti oleh Bhakti Marga. Bisa hanya melakukan Bhakti dan Jnana, Bhakti dan Karma, atau Bhakti dan Raja. Agama Hindu di masing-masing daerah juga melakukan hal yang berbeda. Contohnya agama Hindu di Bali yang melakukan Bhakti dan Karma Marga, agama Hindu di India melakukan Bhakti dan Raja Marga, dan saya sendiri melakukan Bhakti dan Jnana Marga.

Untuk agama selain Hindu, secara tidak langsung sebenarnya juga melakukan catur marga tersebut. Misalnya agama Kristen melakukan bhakti dan karma marga karena yang terpenting adalah perbuatan, agama Budha melakukan bhakti dan Raja marga karena yang terpenting adalah pemusatan pikiran untuk melepaskan ikatan duniawi, dan agama lainnya tergantung cara pandang masing-masing.

Jadi pada dasarnya semua agama sudah menganjurkan untuk melakukan catur marga tersebut hanya saja konsepnya tidak ada. Tuhan tidak memerlukan agama, manusialah yang perlu agama sebagai pemandu untuk melakukan catur marga tersebut. Dengan demikian agama lebih baik disebut sebagai penunjuk jalan. Sekarang tinggal manusianya yang memilih apakah akan mengikuti petunjuk yang salah atau yang benar.